Artikel
Legenda Taman pemandian alami
Alkisah pada jaman dahulu kala, di sebuah desa di ujung timur Kabupaten Probolinggo, tersebutlah seorang puteri yang cantik jelita, berparas elok nan rupawan. Perangainya yang lembut, tampak terlihat dari senyumnya yang anggun kala bertutur kata. Keanggunan sang puteri, sudah menjadi buah bibir di beberapa kalangan. Beliau adalah Puteri Nilam Sari, merupakan selir dari Raja Hayam Wuruk, yang berkaitan erat dengan asal muasal berdirinya Candi Jabung sekitar 667 tahun silam, atau tepatnya 1354 Masehi.
Dalam kesehariannya, Puteri Nilam Sari merupakan seorang perempuan yang taat beribadah, senantiasa menjaga diri dan kehormatannya. Perangainya yang halus dan lembut, kala bertegur sapa, santun dan bersahaja. Begitulah adat ketimuran mengajarinya, kerendahan hati harus dikedepankan. Sehingga wajar banyak lelaki yang menyukainya, tetapi hanya sekedar menyukai, karena Puteri Nilam Sari tidak pernah menanggapi bujuk rayu dari para lelaki yang berusaha untuk menggodanya. Termasuk salah seorang yang menggoda dan merayu Puteri Nilam Sari yaitu Pertapa Sakti bernama Durjana.
“Nilam Sari, sudikah kiranya bilamana aku hendak mempersuntingmu. Sudah lama aku jatuh hati padamu.” Kata Pertapa Sakti pada Puteri Nilam Sari, menggoda.
Dengan melirih Puteri Nilam Sari menghindar dan tidak menggubris ucapan dari Durjana tersebut. Semakin gusarlah hati Durjana, karena ucapannya tidak ditanggapi oleh Puteri Nilam Sari. Selama ini tidak ada orang yang berani menentangnya, semua keinginan dia selalu dipenuhi. Penolakan dari Puteri Nilam Sari merupakan sebuah aib besar bagi Durjana, karena dianggap telah
mempermalukan diri Durjana. Kemarahan tampak dari raut wajahnya, karena kekecewaan yang harus ia terima dari penolakan Puteri Nilam Sari.
Tidak hanya berhenti disitu, bujuk rayu dari Durjana seakan tidak ada habisnya untuk berusaha mendapatkan simpatik dari Puteri Nilam Sari. Penolakan yang sudah didapat sebelumnya, membuatnya semakin berusaha keras untuk menaklukkan hati Puteri Nilam Sari. Segala upaya ia lakukan, agar keinginan diri untuk mendapatkan perempuan yang semua orang impikan, dapat segera terwujud. Keanggunan Sang Puteri, telah menutup mata hatinya, sehingga yang ada di pelupuk matanya hanyalah sosok bayangan wajah Nilam Sari. Begitu ia dibutakan oleh hasrat diri yang menggebu, memuncak dan membuncah dalam kalbunya.
Hari kian berlalu, meninggalkan secercah kisah yang masih membelenggu hati Puteri Nilam Sari. Kekalutan seakan terus mewarnai hari, memahat sebuah goresan hati yang penuh gundah gulana. Kicau burung mulai bersahutan, diantara dingin dan embun pagi yang menyelimuti dedaunan. Diterpa sinar mentari yang masih enggan menampakkan sinarnya. Peristiwa yang seakan menoreh hati Sang Puteri, seakan membekas di lubuk yang tak pernah ia rindui. Begitulah harus ia alami, berpegang pada prinsip diri untuk tidak tergoyahkan pada bujuk rayu yang bermuara pada penolakan. Kecintaan dan kesetiaanya pada Raja Hayam Wuruk, tertanam kuat dalam dirinya. Tidak pernah terbesit sedikitpun menambatkan hati dan perasaannya pada sesiapapun yang datang padanya.
Dalam keadaan seperti itu, Puteri Nilam Sari selalu menyepi di Candi Wurung, untuk menenangkan diri dari penatnya kehidupan yang ia alami. Segala kekalutan diri, ia curahkan dalam kesendiriannya. Seolah beradu duka pada Sang Pencipta di Candi Wurung tersebut. Konon menurut cerita, Candi Wurung merupakan
Candi yang belum selesai dibangun oleh empat Bidadari, gara-gara ada permintaan yang dilanggar. Candi Wurung yang lokasinya berada di Desa Jabung, merupakan ide dari Patih Gajah Mada kepada keempat Bidadari atas permintaan dari Raja Hayam Wuruk sebagai tempat persinggahan Raja Hayam Wuruk karena tidak memiliki tempat bersinggah.
Kekalutan hati Sang Puteri, semakin lama membuatnya gelisah. Godaan dan bujuk rayu dari Durjana selalu membuat hatinya tidak tenang. Dia khawatir suatu saat akan terjadi apa-apa dengannya. Makanya dia selalu berpindah tempat, untuk sekedar menyepi dan bersembunyi dari lelaki hidung belang yang selalu mengganggunya. Sampai di suatu tempat, Puteri Nilam Sari akhirnya menemukan tempat persembunyian, yaitu di sebuah tempat yang cukup teduh dan rindang. Di tempat tersebut, terdapat dua pohon beringin. Di bawah pohon beringin itu, terdapat sumber mata air yang terlihat cukup bening. Terkadang, Puteri Nilam Sari mandi di sumber mata air yang juga cukup segar tersebut. Dikisahkan, sumber air tersebut merupakan tempat bermandinya empat bidadari Kayangan yaitu, Nawang Wulan, Nawang Sukma, Nawang Sito, dan Nawang Sari.
Di rindang dan teduhnya pohon beringin tersebut, Puteri Nilam Sari melakukan Moksa. Menurut bahasa Jawa, Moksa merupakan kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan. Ketika melakukan Moksa, sosok Puteri Nilam Sari kasat mata, tidak terlihat oleh siapapun orang yang memandangnya. Kedamaian seakan ia rasakan, diantara kesunyian dan kesepian alam sekitar. Jauh dari lalu- lalangnya orang-orang sehingga ketenangan batin mampu ia lepaskan, terbang bergelayut menuju Nirwana untuk mencapai kesempurnaan.
Keberadaan Puteri Nilam Sari yang menyepi di tempat persembunyian untuk melakukan moksa tersebut, ternyata di ketahui
oleh Durjana. Akhirnya, Durjana bergegas menuju ke tempat persembunyian Puteri Nilam Sari tersebut. Sesampainya di tempat itu, dari kejauhan Durjana melihat sosok Puteri Nilam Sari yang sedang melakukan moksa di pohon beringin. Memang, sosok tubuh Nilam Sari tidak terlihat oleh siapapun, tetapi tidak untuk Durjana, karena Durjana merupakan seorang pertapa sakti. Jadi wajar kalau dia bisa melihat sosok Puteri Nilam Sari. Puteri Nilam Sari akhirnya berdiri, beranjak dari tempat ritualnya. Tidak seberapa jauh Durjana melangkah untuk mendekati Puteri Nilam Sari, langkah kaki Durjana kemudian terhenti.
“Tetaplah di situ engkau wahai Durjana! Aku tidak ingin engkau mendekatiku.” Kata Puteri Nilam Sari dengan marah.
“Kenapa Nilam Sari, aku kesini karena ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.” Kata Durjana.
“Sebaiknya engkau pergi dan menjauh dari tempat ini. Kalau tidak, maka aku akan menceburkan diri ke kolam ini.” Jawab Puteri Nilam Sari mengancam.
“Jangan Puteri, jangan lakukan itu! Aku ini memiliki niat baik kepadamu.” Jawab Durjana membujuk.
Akhirnya Puteri Nilam Sari membalikkan badan, menghadapkan tubuhnya ke kolam pemandian. Tiba-tiba, Puteri Nilam Sari menceburkan diri ke kolam tersebut. Seketika itu, air kolam berputar keras sehingga membentuk pusaran air, menghanyutkan sesosok tubuh Puteri Nilam Sari. Kolam tersebut akhirnya di sebut dengan sebutan nama “Taman Sari” yang artinya Taman yang diambil dari nama sesosok perempuan yaitu Puteri Nilam Sari.
Taman Sari yang berlokasi di Desa Taman Sari Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, yang letaknya kurang lebih 7 km dari jantung kota Kecamatan Kraksaan. Sumber mata air tersebut kini mulai membentuk kolam dengan ukuran sekitar 20 x 60 meter persegi.
Dari sejak zaman Belanda hingga kini, air tersebut tidak pernah surut meskipun kemarau panjang.
Penduduk sekitar, setiap malam Jum’at Legi diadakan selamatan, yang ditujukan pada penghuni atau penunggu pemandian yang dipercaya sampai saat ini masih bermukim di Taman Sari. Disamping itu, selamatan juga ditujukan pada para arwah kubur yang berada di sekitar kolam pemandian. Di antara maka itu juga, terdapat makam kuno yang merupakan salah satu pembabat desa Tamansari, yaitu Mbah Dipo. Tidak ada sejarah yang jelas terkait dengan cerita Mbah Dipo, hanya saja masyarakat sekitar percaya bahwa Mbah Dipo merupakan juru kunci tempat pemandian.
Para penganut agama Hindu, sering berkunjung ke kolam Pemandian Taman Sari. Mereka berdatangan ketika memperingati Hari Galungan, dengan melakukan ritual menceburkan dua ekor bebek ke kolam pemandian Taman Sari. Pemandian yang sampai saat ini masih mistis dipercaya penduduk setempat. Konon juga dipercaya, apabila mandi di kolam pemandian Taman Sari, bisa memiliki rupa awet muda layaknya Puteri Nilam sari.
***Lokasi Taman pemadian alami
*Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Kraksaan
**Cerita ini dikutip dari hasil cerita Bapak Rifa’i yang kebetulan beliau merupakan penduduk asli Desa Tamansari dan juga sebagai Perangkat Desa Tamasari, Kecamatan Kraksaan. Beliau mendapatkan cerita tersebut,langsung dari Mantan Kepala Desa Tamansari, Bapak S. Wirosari yang menjabat pada tahun 1955 s.d 1990. Pembuatan cerita dibina langsung oleh Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 2 Kraksaan Bapak Subhan, S.Pd. MM. Cerita Rakyat ini dilombakan dalam Lomba Penulisan Konten Lokal tahun 2022 Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Probolinggo tanggal 14 November 2022.